”Deep Learning”, Pengganti Kurikulum Merdeka?

Oleh Prof. Suyanto, Ph.D.
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (2005-2013), Ketua Majelis Wali Amanat UNY (2022-2025), dan Ketua Umum DPP IKA UNY

Jagat maya dalam dua minggu terakhir ini hiruk-pikuk memviralkan pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti tentang deep learning, mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning.

Mengapa menjadi viral gagasan itu? Karena masyarakat sedang euforia, mengira isi pernyataan itu sebagai ganti Kurikulum Merdeka.

Akhirnya, Menteri Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa deep, mindful, meaningful, dan joyful learning (DMMJ-L) bukan kurikulum dan bukan pengganti Kurikulum Merdeka, melainkan sebuah pendekatan pembelajaran dengan tujuan agar siswa benar-benar belajar, memahami prosesnya, memaknai konten, serta menyenangi proses dan konten secara mendalam.

Dengan pendekatan belajar seperti itu, siswa akan selalu on task, di kelas dan/atau di lingkungan belajar lain yang sengaja digunakan guru untuk kegiatan pembelajaran mereka.

”Reinventing” model belajar

Konsep dan teori DMMJ-L yang dimunculkan Abdul Mu’ti ini memiliki signifikansi dan relevansi yang amat penting mengingat masih banyak siswa sekolah formal menjalani kegiatan belajar di sekolah, tetapi nyatanya tidak belajar.

Banyak keluhan anak SD kelas 6 belum mahir membaca teks dalam huruf Latin. Kemampuan siswa SMP dan SMA/K dalam literasi, numerasi, dan sains juga masih rendah. Perolehan nilai PISA siswa Indonesia juga rendah kalau tidak mau mengatakan jeblok.

Oleh karena itu, kehadiran pendekatan belajar DMMJ-L sangat memberi angin baru bagi proses dan praksis pembelajaran di sekolah kita saat ini dan ke depan, apa pun nama dan bentuk kurikulumnya.

Apakah konsep yang dikemukakan Menteri Abdul Mu’ti barang baru? Jawabnya tidak dan sama sekali bukan. Burukkah itu? Juga tidak!

Bahkan, konsep itu masih banyak dirujuk untuk kajian ilmiah di jurnal internasional bereputasi dan terindeks Scopus oleh para peneliti dunia dalam menganalisis variabel apa yang bisa membuat proses belajar di sekolah berhasil dengan mengutamakan kesejahteraan dan kebahagiaan siswa dalam belajar.

Jadi, ketika Abdul Mu’ti menyodorkan pendekatan pembelajaran DMMJ-L ini sungguh merupakan semacam langkah reinventing model belajar yang sudah ada dan jelas-jelas telah menjadi grand theory yang menjadi rujukan banyak peneliti besar dunia untuk memecahkan masalah pembelajaran klasik.

Yakni: mengapa siswa belajar, tetapi tidak memperoleh hasil pembelajaran yang memiliki dampak positif pada hidup, kehidupan, dan penghidupan mereka?

Apakah model pembelajaran yang beririsan dengan konsep DMMJ-L sudah pernah diadopsi di dunia pendidikan kita? Jawabnya, sudah, walau tidak persis menggunakan terminologi yang sama.

Kuncinya adalah guru

Kita lihat ke belakang pada tahun 1984 kita juga menerapkan pendekatan pembelajaran yang disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pendekatan ini merupakan model baru yang memperbaiki pendekatan pembelajaran pada Kurikulum 1975.

Gagasan utamanya adalah agar siswa dipandang sebagai subyek belajar, bukan obyek. Mereka dikondisikan aktif, dimotivasi supaya mampu mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, dan melaporkan berbagai fenomena setelah para siswa menjalani proses pembelajaran. Pendekatan ini juga beririsan dengan konsep pembelajaran ala DMMJ-L.

Berhasilkah CBSA? Tidak juga! Kenapa tidak? Tak ada dukungan yang memadai di bidang infrastruktur, ekosistem, dan sumber daya manusia, terutama guru. Bahkan, pada saat itu timbul sinisme CBSA menjadi akronim baru: CBSA (cah bodo soyo akeh)—anak bodoh semakin banyak!

Jadi, kalau Menteri Abdul Mu’ti akan mengadopsi DMMJ-L, pertama kali yang harus diperhatikan adalah guru.

Profesionalisme, kesejahteraan, dan perlindungan guru harus benar-benar diperhatikan dan diurus. Masih banyak guru honorer yang gajinya hanya Rp 250.000 per bulan dan itu pun sering dibayarkan tiga bulan sekali karena menunggu cairnya dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Bagaimana guru akan bisa diharapkan dapat menerapkan pendekatan belajar menggunakan konsep DMMJ-L ketika mereka masih memiliki masalah ekonomi pribadi dan rumah tangga yang cukup berat.

Mereka belum selesai dengan dirinya. Guru memiliki peran yang amat penting dalam model pembelajaran apa pun meski di zaman kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) seperti saat ini.

John I Goodlad dalam bukunya yang best seller berjudul Looking Behind the Classroom Door mengingatkan manakala pintu-pintu kelas sudah ditutup rapat, dan para siswa belajar di dalamnya, kepemimpinan instruksional gurulah yang akan menuntun, mengarahkan, siswa untuk sukses dalam belajarnya secara menyenangkan.

Pendekatan belajar DMMJ-L ini bukan konsep ”kaleng-kaleng” karena akar teorinya kokoh ditegakkan dan dikembangkan secara simultan dan atau beririsan oleh para ilmuwan hebat dunia.

Untuk menyebut beberapa saja, misalnya, yang paling senior, John Dewey, dengan konsep Learning by Doing sejak akhir abad ke-19. Jean Piaget (1923)–The Child Conception of of the World. Howard Gardner (1983)–The Theory of Multiple Intelligences. Ellen Langer (1997)–Power of Mindful Learning. Jon Kabat-Zinn—Mindfulness Based Stress Reduction (MBSR).

Dan masih banyak lagi, mungkin ribuan, ilmuwan besar yang memiliki passion dalam DMMJ-L. Selamat berhikmat dengan DMMJ-L Pak Menteri Dikdasmen. (*)

Tulisan ini terbit pertama kali di Kompas.id edisi 26 November 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *