Oleh Suyanto
Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY); Dirjen Mandikdasmen Depdiknas (2005-2013); Ketua Majelis Wali Amanat UNY
Alumniuny.id–Debat calon presiden tinggal satu putaran lagi. Debat capres terakhir pada 4 Februari ini akan menampilkan tema yang sangat strategis karena berkait dengan parameter penting peradaban bangsa dan juga sebagai tolok ukur apakah kita akan sukses mengelola bonus demografi (2035) dan mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.
Tema debat capres kali ini meliputi kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia (SDM), dan inklusi.
Pendidikan dalam tema itu memiliki korelasi simetris terhadap subtema yang lain sehingga memperdebatkan persoalan pendidikan yang dihadapi republik ini dalam forum debat capres sungguh memiliki rasional filosofis yang hakiki bagi kebutuhan bangsa Indonesia untuk tumbuh, berkembang, serta sukses di percaturan nasional, regional, dan global.
Oleh karena itu, kita sebagai pemilih capres di bilik pemilu nanti perlu mengikuti secara saksama sejauh mana mereka memiliki visi, misi, dan wawasan pendidikan yang relevan dengan persoalan bangsa. Jangan sampai kita ibarat beli kucing dalam karung, tidak mengetahui apa pun tentang kucing itu.
Sebaliknya, kucingnya harus tampak jelas dan karungnya tembus pandang mata, hati, dan akal waras kita. Akhirnya, kita perlu menakar kekuatan dan rasionalitas komitmen para capres terhadap upaya yang efektif untuk merumuskan dan memecahkan kelindan persoalan akut pendidikan.
Para capres mampu memenuhi takaran komitmen atau tidak, nanti bisa kita lihat pada konsep, ide, gagasan, empati, dan bahkan bahasa tubuh mereka untuk melakukan deskripsi, narasi, sintesis, serta analisis terhadap berbagai isu dan masalah substantif pendidikan nasional dalam waktu yang tersedia di panggung debat.
Peta persoalan pendidikan
Sistem pendidikan kita memiliki persoalan yang cukup banyak. Persoalan itu bisa kita petakan menjadi masalah-masalah yang terkait dengan kualitas, relevansi, daya saing, akses berkeadilan, efektivitas, dan efisiensi. Dari peta persoalan ini, capres mana kiranya yang memiliki komitmen kuat untuk memecahkannya dengan sistemik dan berkelanjutan.
Kita paham bahwa para capres akan berdiskusi dan berdebat sesuai umpan masalah yang telah disediakan oleh para panelis. Meskipun demikian, masalah-masalah itu pasti bisa dikandangkan ke dalam peta masalah yang disebut di atas.
Kita masih harus berjuang dalam hal kualitas. Pendidikan kita kualitasnya masih belum menggembirakan para pemangku kepentingan (stakeholders), kalau tak ingin mengatakan mutunya masih rendah. Indikator yang mudah dan kasatmata adalah perolehan skor PISA yang jeblok.
Skor PISA kita di bawah rata-rata nilai dari negara-negara peserta PISA secara agregat. Begitu juga disparitas kualitas masih menganga lebar antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan Jawa dan perdesaan Jawa. Lebih parah lagi, antara perkotaan dan perdesaan di luar Jawa.
Begitu juga dalam bidang relevansi, kita masih menuai masalah. Kompetensi lulusan kita belum semua bisa ”klik”, sesuai dengan tuntutan serta kebutuhan dunia kerja dan industri.
Apalagi daya saing, pendidikan kita belum mampu bersaing secara global dengan baik. Perguruan tinggi kita belum ada yang memiliki peringkat 100 terbaik dunia. Kita belum mampu bersaing dengan perguruan tinggi di negara-negara lain di dunia, bahkan Asia sekalipun.
Begitu juga akses yang berkeadilan masih jauh dari ideal. Ada kesenjangan antara permintaan dan penawaran di sektor pendidikan kita. Kalau para capres tak memiliki komitmen untuk menghentikan kesenjangan ini, dalam jangka panjang akan timbul masalah sosial, ekonomi, dan politik. Mengapa begitu?
Sebab, yang bisa memiliki akses pada pendidikan dan disertai banyak pilihan hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki sumber daya sosial ekonomi kuat sehingga akan menimbulkan eksklusivitas, menyuburkan oligarki, dan ketimpangan ekonomi.
Dalam persoalan ini, kita berharap ada gagasan dan ide untuk merumuskan solusi yang efektif dari para capres di debat nanti. Masalah yang menyangkut efektivitas dan efisiensi perlu ada solusi dari para capres.
Mengapa begitu? Sebab, sumber anggaran pendidikan masih terbatas meski telah dianggarkan 20 persen dari APBN. Setelah menjadi anggaran kementerian, terjadi postur anggaran yang kurang sehat akibat hampir 67 persen dari anggaran itu dikirim ke daerah sebagai dana alokasi umum yang penggunaannya belum tentu untuk membiayai pendidikan di pemerintah daerah.
Persoalan guru
Selanjutnya, persoalan pendidikan kita yang akut dan tidak pernah mendapatkan solusi baik adalah persoalan guru.
Dari sejak merdeka sampai kini, kita sebagai bangsa besar belum memiliki peta jalan (road map) tentang guru. Karena belum ada peta jalan guru, setiap masa ada kekurangan guru, solusinya hanya bersifat crash program, ad hoc, tak tersistem secara makro, sehingga hanya menghasilkan limbah pendidikan berupa menumpuknya guru-guru honorer yang gajinya banyak di bawah upah minimum regional (UMR).
Keadaan ini tentu berakibat negatif pada upaya peningkatan kualitas pendidikan secara nasional. Bagaimana para capres memiliki komitmen untuk menyelesaikan persoalan guru kita? Seharusnya kita punya peta jalan guru yang bisa memetakan jumlah kebutuhan, sistem pendidikannya, penempatannya, kesejahteraannya, dan pengembangan profesionalismenya secara berkelanjutan.
Kita tunggu jawaban ini semua di debat capres besok.
Artikel ini telah terbit di Kompas.id dan Kompas cetak edisi 3 Februrai 2024. Keseluruhan teks dan gambar dipublikasikan ulang dari Kompas.id.